'Pawitro', setiap orang pasti bertanya tanya apa Pawitro itu, kadang ada yang menyebut Pawiro, Prawiro, Prawito, Perwito, dll. Tapi sebetulnya semua itu salah, Pawitro ya Pawitro, sebuah nama yang menurut saya unik, Pawitro Purbangkoro, nama yang diberikan oleh ayah saya 20 tahun yang lalu. Awalnya saya tidak tau tentang arti kata Pawitro bahkan saya menganggapnya ndeso, karena menurut saya dizaman ini nama Pawitro tidaklah keren seperti nama Adi, Bagus, Dian, Bagas, Nauval, dll. Saya sebagai pemilik nama ini jujur saya dulu malu, karena saya tidak tau artinya dan menurut saya itu ndeso, saya kala itu juga mulai tidak mengganggap nama tersebut sebagai beban bagi saya namun saya anggap itu sebuah anugrah karena pasti sebuah nama itu mengandung arti yang baik. Walaupun saya tidak tau artinya saat itu tapi ya sudahlah syukuri saja, begitu kata saya dalam hati. Saya sejak kecil hidup didalam keluarga yang mencintai budaya jawa dan masih mengikuti budaya kejawen yang kental.
Masa kecil saya sangat beda jauh dengan anak anak lainnya, pada saat saya berumur 7 tahun yang saya tau saat itu setiap anak suka dengan sepak bola tetapi saya tidak, saya lebih sering memperhatikan sebuah wayang di dinding kelas waktu itu, hingga Ibu Wali kelas menjelaskan bahwa itu yang namanya 'wayang', yang menjadi daya tarik saya waktu itu adalah nilai seni wayang tersebut. Lambat laun saya mulai menekuni dalam membuat wayang dari karton hingga kulit kerbau, saya juga tau cerita cerita wayang, namun dari sekian banyak cerita wayang hanya satu yang saya sangat suka, yaitu lakon Tirta Perwitasari yang menceritakan dimana Bima atau Werkudara mencari sebuah air kehidupan di tengah samudra yang sangat luas dan dalam, hingga akhirnya Werkudara berkelahi dengan sebuah naga 10x lipat dari besar tubuhnya, Werkudara berhasil membunuhnya dan keluarlah sebuah dewa Bajang yaitu Dewa Ruci yang memberikan titah wejangan yang disebut Sangkan Paraning Dumadi, yang artinya asal muasal manusia.
Lakon tersebut secara tidak sengaja menunjukkan asal dari nama saya tersebut. Saya mulai menginjak usia 17 tahun memasuki SMA, saya mengunjungi sebuah perpustakaan umum yang berada dikota saya, saya menemukan sebuah buku dengan gambar Werkudara bergelut dengan seekor Naga, ketika saya membuka halaman tersebut, semua bahasanya merupakan bahasa jawa kuno atau bahasa jawa Kawi, saya memang tidak tau, tapi apa salahnya untuk dibaca dan diartikan, karena ayah saya bisa mengartikan bahasa kawi. Saya lalu menemukan sebuah kata 'Gung Dumugi ing Pawitro' yang entah apa artinya tapi ayah saya mengatakan bahwa akhirnya saya sedikit demi sedikit telah mencari jati diri saya karena ayah selama ini ketika saya bertanya arti nama beliau selalu menyuruh saya mencari sendiri.
Lalu ayah menyuruh saya mengartikan sedikit demi sedikit makna dari cerita Tirta Perwitasari tersebut, akhirnya saya bisa menemukan bahwa 'Pawitro' merupakan bahsa jawa kuno atau Bahsa Jawa Kawi yang artinya sebuah Air Suci atau Air yang Menyucikan. 'Pawitro' di dalam cerita Tirta Perwitasari maksudnya adalah Werkudara disuruh oleh sang Druna untuk mencari apa itu air kehidupan ditengah samodra yang luas dan dalam, air tersebut sebenarnya tidak ada, namun Werkudara tetap ingin mencari. Setelah Werkudara mengembara melawan Ular dan Raksasa di hutan dan di Samodra, itu artinya bahwa guru yang terbaik adalah pengalaman, hingga dia bertemu dengan dewa bajang yaitu Dewa Ruci yang mirip sekali dengan dirinya namun berbentuk bajang, artinya bahwa Tuhan sebenarnya ada didalam diri kita, ketika kita berjuang didalam hidup tidaklah lain hanyalah mencari rahmatNya namun rintangan begitu banyak yang digambarkan Werkudara harus berhadapan dengan seekor naga dan kedua raksasa, serta menyebrangi Samodra yang amat luas, itulah kehidupan, dan air kehidupan atau 'pawitro' itu adalah air wudhu, yang artinya air yang mensucikan kita selama kita hidup didunia ini mencari rahmatNya.
Komentar
Posting Komentar